Puter Kayun, Salah Satu Tradisi Lebaran di Banyuwangi
Kilas Sumberayu- Saat lebaran tiba warga Boyolangu salah satu daerah yang berada di kabupaten Banyuwnagi menggelar acara Puter Kayun, istilah ini diambil dari bahasa Osing, Puter berarti keliling, dan Kayun berarti suka cita atau gembira.
Namun tidak semua kusir dokar di Banyuwangi yang mengggelar tradisi kuno ini. Hanya para kusir dokar di Kelurahan Boyolangu Kecamatan Giri saja.
Warga di Kelurahan Boyolangu banyak yang memiliki usaha jasa angkutan Dokar. Puter Kayun digelar sebagai ungkapan rasa syukur mereka atas rejeki selama Ramadan hingga Idul Fitri.
Puter Kayun divisualisasikan dengan bertamasya keliling naik dokar. Mulai dari Boyolangu hingga ke pantai Watu Dodol, Kecamatan Kalipuro. Jaraknya sekitar 15 Km.
Rute tersebut tak lepas dari sejarah Puter Kayun sendiri (ada sejumlah versi). Konon, dimasa penjajahan Belanda, daratan Watu Dodol akan dijadikan jalan raya oleh Belanda. Ditepi pantai berdiri batu berukuran raksasa.
Segala upaya dilakukan Belanda untuk menghancurkan batu tersebut. Termasuk memberlakukan kerja rodi bagi warga pribumi yang pada akhirnya banyak yang mati. Hingga akhirnya Bupati pertama Banyuwangi (1773-1781), Raden Mas Alit, membuat sayembara.
Sayembara itu didengar oleh Buyut Jokso, seorang sakti asal Boyolangu. Buyut Jokso konon langsung menuju ke pantai Watu Dodol, dan melakukan ritual. Yakni mengajak komunikasi Jin penunggu batu raksasa. Alhasil, Buyut Jokso berhasil memecah batu tersebut setelah memenuhi 3 syarat yang diminta Jin.
Syarat itu diantaranya, batu boleh dipecah asal tidak melewati batas-batas yang ditentukan. Kedua menyisakan batu untuk dijadikan tempat tinggal raja Jin. Ketiga, keturunan Buyut Jokso sesekali diminta mengunjungi Watu Dodol.
Namun kisah tersebut hanya menjadi legenda bagi warga Boyolangu. Terlepas dari itu semua, Puter Kayun sejak lama masuk dalam kalender wisata tahunan Banyuwangi.
Di Watu Dodol sendiri, kini masih berdiri batu besar yang membelah jalan raya yang menghubungkan Banyuwangi-Situbondo. Pemandangan pantainya pun menarik banyak wisatawan lokal maupun mancanegara untuk mengunjunginya.
Sego Tempong Khas Banyuwangi
Sego tempong (bahasa Indonesia: nasi tempong) adalah makanan khas
Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia yang ciri khasnya ada pada sambalnya
yang pedas dan segar. Diberi nama “tempong” (tempeleng) karena setelah
makan sego tempong rasanya seperti ditempeleng karena pedas.
Sego Tempong atau Nasi Tempong ini adalah salah satu makanan Khas Kabupaten Banyuwangi, Nasi dengan sambal khas ini, disantap dengan lauk pada umumnya, seperti ikan laut segar goreng, tempe dan tahu goreng, bisa juga ayam goreng dan empal. Namun yang paling khusus adalah sambalnya, karena diracik secara khusus. Mulai bahan tomat (ranti-bhs Using), serta terasi yang digunakan. Bahkan saking pedasnya, orang yang habis menyatap Nasi Sambal ini seperti di-Tempong (Tampar-bhs Indonesia). Nah, dari sinilah muncul istilah “Nasi Tempong” yang membuat penyuka makanan pedas menjadi ketagihan.Nasi ini sangat nikmat di sajikan dalam keada an malam hari sambil melirik keindahan kota banyuwangi. Warung Nasi kepunya an mbak Sum yang berada di samping Selatan Roxi ini sangat ramai sekali mulai sore hingga malam hari, tak pelak jika sering pelanggannya kehabisan menu hidangan jika datangnya sudah malam.
Penjual “Sego Tempong” di Banyuwangi, selalu menggunakan “Ranti”, tomat yang bentuk kulitnya bergelombang. Sebagian orang orang juga menyebit “Melinjan”, ada juga yang menyebur “Blondotan“. Dalam bahasa latin Solanum lycopersicum, tetapi bentuknya tidak bulat penuh. Sagak gepeng, kulitnya bergelombang seperti kulitnya “waluh” (bhs.Jawa). Orang Banyuwangi menyebut ranti ini sebagai bagian dari timat sayur, sedangkan tomat pada umumnya yang kulitnya halus sebagai tomat buah. Bedanya dengan tomat pada umumnya, ranti ini tidak “lengur” (bhs. Jawa) kalau dibikin sambal tanpa dimasak. Bijinya ranti ini juga lebih banyak, dibanding tomat jenis lain. Namun apabila akan digunakan sambal, biasanya bijinya dibersihkan, hanya kulit dan dagingnya yang dipakai.
Selain menggunakan “ranti” khusus, sambal tempong juga menggunakan trasi spesial. Jika umumnya trasi berbahan udang kering, atau ebio. Namun penjual nasi tempong di Banyuwangi akan memesan secara khusus terasi berbahan baku “Teri Nasi”. Teri warna putih yang sudah dikeringkan ini, ternyata mempunyai kelejatan tersendiri.
Kemudian bahan lainnya, seperti cabe rawit, cabe merah, bawang merah dan bawang putih sama dengan sambal pada umumnya di daerah lain. Namun meski pembelinya banyak, penjual “Sego Tempong” akan meracik sambal dulu sesuai pemesan yang datang. Kecuali terasi dan bawang putih digoreng dulu, kemudian cabe rawit, cabe merah dan ranti yang sudah digilangkan bijinya, dilumatkan dalam cobek dari batu. Selain diberi garam dan gula sedikit tentunya, ada juga yang diberi jeruk. Nah, setelah halus lumatannya, jadilah sambal tempong siap saji yang segarr dan “pewedes…!!!
Sambal ini disajikan dengan nasi panas “kebul-kebul”, dengan lauk standar tahu dan tempe goreng, Namun pembelio juga bisa menambah dengan lauk lele goreng, ayam goreng, pindang goreng atau ikan lautr segar goreng. Kemudian lalapannya dalam bentuk matang semua, yaitu sayuran (Sawi Bhs.Jawa), manisah (gondes bhs. Jawa), terong welut, kubis, serta aneka sayuran lainnya yang musim saat itu. Bila ada yang tidak suka, tinggal bilang kepada penjualnya. Anda tidak mau salah satu sayur yang ada…
Nah, harganya hanya Rp. 6000 porsi, dengan satu lauk pilihan. Apabila lauk pilihan lebih dari satu, tentu hargaya juga ikut tambah.
Setelah makan pewedes, bagi yang merokok bisa menutup kenikmatan dengan sedotan rokok sesuai selera. Namun bagi yang tidak merokok, cukup pesen minuman es teh. Bisa juga air es, agar bertambah sewegerrr…..
Nah penasaran dengan “Sego Tempong”? Atau Anda ingin merasakan “Tamparan” sego tempong, datanglah ke Banyuwangi. Setiap sore hingga tengah malam, di sudut-sudut kota Banyuwangi banyak bertebaran penjual Nasi Tempong. Selamat mencoba dan menikmati.
Kendang Kempul, Musik Asli Banyuwangi dan Dinamikanya
Banyuwangi sebenarnya adalah kabupaten dengan wilayah paling luas di provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini berbatasan dengan Situbondo di utara, Jember dan Bondowoso di sebelah barat, Samudra hindia di sebelah selatan dan Selat Bali di sebelah timur. Di kabupaten ini ada pelabuhan ikan Muncar yang konon merupakan pelabuhan perikanan terbesar di Indonesia.
Banyuwangi meski terletak di pulau Jawa, tapi mereka di diami oleh suku lain. Mereka menamakan diri sebagai suku Osing dan bukan bagian dari suku Jawa. Bahasa yang mereka gunakan pun bukanlah bahasa Jawa seperti umumnya orang yang tinggal di daerah Jawa Timur, Jawa tengah, Jogja. Bahasa Oseng merupakan bahasa turunan langsung dari Bahasa jawa kuno seperti halnya bahasa Bali. Memang ada beberapa kosakata dari bahasa Oseng yang mirip dengan bahasa Jawa ataupun bahasa Bali, tapi dengan arti yang berbeda.
Sementara untuk budaya, Banyuwangi memiliki budaya yang berbeda dengan kebudayaan daerah lain baik Jawa ataupun Bali sebagai daerah yang bisa dibilang bersentuhan langsung dengan Banyuwangi. Banyuwangi memeliki seni budaya yang unik. Seni budaya itu antara lain Gandrung, Patrol, Seblang, Tari barong, Kuntulan, Janger, Jaranan ( Kuda Lumping ) Jedor dan Angklung Caruk ( adu angklung ) serta Kendang Kempul.
Saat ini saya hanya akan membahas mengenai kesenian Kendang Kempul. Kendang kempul merupakan musik etnik yang berkembang di Banyuwangi. Lagu-lagu dari musik gandrung menjadi cikal bakal lahirnya musik kendang kempul. Beberapa seniman gandrung pertama kali menyanyikan lagu-lagu gandrung tanpa menggunakan reffrain. Lagu-lagu yang pertama kali diciptakan oleh para seniman waktu itu adalah lagu dengan judul “keriping sawi” dan “keok-keok”. Musik ini semakin berkembang dengan lahirnya alat musik angklung sekitar tahun 1920-an.
Musik Banyuwangi berkembang semakin dinamis di tahun 1955 dengan berdirinya sanggar-sanggar kesenian yang didukung oleh LEKRA ( LEmbaga Kesenian Rakyat ) yang merupakan oraganisasi seni dibawah/underbow Partai Komunis Indonesia. Bahkan lagu “genjer-genjer” yang identik dengan gerakan PKI 1965 adalah ciptaan seniman Banyuwangi bernama Mohammad Arief yang syairnya bercerita tentang penderitaan warga sekitar saat dijajah oleh pasukan Jepang.
Pada periode 1966-1973 musik Banyuwangi sempat mati suri, karena adanya anggapan bahwa kesenian ini berbau PKI. Pada tahun 1973 musik Banyuwangi kembali muncul dan sejak itu lebih dikenal dengan nama musik Kendang Kempul. Penyebutan musik kendang kempul karena waktu itu alat musik yang menonjol saat digunakan untuk mengiring penyanyinya bernyanyi adalah alat musik kendang, Kempul dan suling. Tokoh yang kembali memperkenalkan/mempopulerkan kendang kempul adalah Sutrisno.
Seiring dengan bergulirnya waktu, maka perkembangan musik kendang kempul makin pesat. Jika disekitar tahun 1990-an para penikmat lagu Banyuwangi hanya mengenal nama Sumiati, Cahyono ( pelawak jayakarta grup), Suliana dan Alif S sebagai penyanyi kendang kempul, maka di penghujung akhir 1990-an mulai muncul nama-nama penyanyi baru dengan inovasi musik yang semakin memperkaya khasanah musik kendang kempul itu sendiri.
Generasi 1990-an akhir itu antara lain ada nama Niken Arisandy, Reny Farida, Adestya Mayasari, Ratna Antika, Dian Ratih dan masih banyak lagi. Sedang di jajaran pencipta lagu ada nama Hawadin, Yon’s DD, serta penyanyi sekaligus pencipta lagu serta pendiri grup seni kendang kempul POB ( Patrol Orchestra Banyuwangi ) Catur Arum. Bahkan penyanyi Nini Karlina sebelum jadi penyanyi dangdut dan hijrah ke Jakarta dulunya adalah penyanyi Kendang Kempul. Lagu Gelang Alit versi dangdut yang dinyanyikan oleh Ikke Nurjanah aslinya adalah lagu kendang kempul dengan judul yang sama.
Seiring semakin banyaknya referensi musik yang masuk dan mempengaruhi lagu kendang kempul, dengan sendirinya lagu ini semakin dinamis. Jika dulu di awal kemunculannya alat musik kebanyakan alat tradisional, maka sekarang mulai ditambahkanlah alat musik modern seperti gitar, keyboard dan drum untuk membuat musik ini semakin dinamis. Bahkan sejak sekitar 4 tahunan terakhir unsur musik dangdut koplo serat rock juga ikut menambah khasanah musik asli banyuwangi ini.
Beberapa waktu yang lalu juga ada nama wisatawan asal belanda yang datang kusus ke Banyuwangi untuk belajar bahasa oseng sekalian belajar menyanyikan lagu kendang kempul. Bahkan bule bernama Richardo Benito tersebut sempat ikut bernyanyi dalam beberpa pertunjukan musik kendang kempul di Banyuwangi. Benito juga dengan percaya dirinya mengupload lagu yang dia nyanyikan di situs youtube meski musik yang dia nyanyikan sudah bukan kendang kempul asli seperti pertama kali muncul sampai di akhir 1990-an.
Sekarang begitu banyak lagu kendang kempul yang dinyanyikan dan dibawakan oleh artis penyanyi dangdut yang ada di daerah Jawa Timur. Sebut saja orkes dangdut Monata dan Palapa yang merupakan orkes dangdut terbesar di Jawa Timur dalam tiap penampilannya pasti membawakan lagu kendang kempul yang telah diarnsemen ulang dalam versi dangdut koplo. Lagu-lagu yang sering dibawakan antara lain lagu ” Bokong Semok, Dicokot-nyokot, Semebyar, Semende nang Dadane, Bojoku Nakal dan masih banyak lagi. Hal ini menandakan jika musik kendang kempul juga sudah mulai merambah daerah di luar Banyuwangi dan diterima dengan baik oleh warga daerah lain. Bahkan radio muara FM, radio dangdutnya Jakarta setidaknya seminggu sekali menyediakan segmen khusus untuk memutar lagu kendang kempul Banyuwangi seperti halnya mereka memberi segmen khusus untuk lagu campursari.
Saya sebagai anak yang lahir dan besar di Banyuwangi, meski dari suku jawa sangat mengapresiasi perkembangan kesenian tradisional asli Banyuwangi dan berharap pemerintah memberi wadah untuk para senimannya mengapresiasi seni mereka. Secara pribadi saya tidak ingin suatu saat kesenian ini juga diklaim oleh negara lain dengan mengaku sebagai kesenian asli mereka. Hidup kesenian asli Indonesia.
Sumber :
http://www.kilassumberayu.com/2012/08/puter-kayun-salah-satu-tradisi-lebaran.html
http://kotabanyuwangi.com/?page_id=17
http://hiburan.kompasiana.com/musik/2011/01/21/kendang-kempul-musik-asli-banyuwangi-dan-dinamikanya-336382.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar